Sabtu, 17 Mei 2014

Dendam Atas Nama (a cerpen)



"Malam telah larut, membuat segalanya terlihat gelap dan sepi. Angin berhembus pelan, menggerakkan satu-dua ranting pohon, membuat mereka bergesekan, menimbulkan irama sepi. Bulan menggantung di angkasa, bulat sempurna. Bintang-bintang tak begitu terlihat jelas. Sesekali, gumpalan awan terlihat dibawa angin. Dominan hitam, mungkin pagi nanti akan sangat mendung. Tak ada suara jangkrik yang menenangkan disini, apa lagi suara burung hantu atau binatang malam yang hidup di alam terbuka lainnya"
......
"Dengan ekor berdarah, makhluk kecil itu kabur. Di kejauhan, dia menyadari kalau sosok yang tadi mengejarnya adalah seekor anjing. Petugas-petugas keamanan menenangkan anjing yang terus menyalak tersebut. Dengan nafas terengah-engah, makhluk kecil tersebut menyadari kalau ekornya tinggal separuh. Ia menggerutu dalam hati, menyumpahi anjing itu sambil berpikir, “Hufft, lebih baik aku terlahir sebagai seekor cicak saja.”


sebelumnya ni, ana gak pernah publish cerpen, maklum aja ana bukan cerpenis, tapi kali ini ana akan publish cerpen. Tepat sekali, memang bukan ana yang mengarang cerpen ini tapi my big broda, Jawad alatas, (Javad Mu`nis Atthas on Facebook) cerpen yang satu ini selalu ngingetin ana pada jawad yang hobi cerita dan tingkat imajinasi yang saat bercerita yang superlebay, tapi masuk akal dan menyenangkan,

wad, kalo ente baca ini, ketahuilah kalo ini bentuk apresiasi atas cerpen anda bukan plagiatisme, hehe
ok guys, check it ouuutt !!
Dendam atas nama (a cerpen)
by : Jawad husein alatas

Malam telah larut, membuat segalanya terlihat gelap dan sepi. Angin berhembus pelan, menggerakkan satu-dua ranting pohon, membuat mereka bergesekan, menimbulkan irama sepi. Bulan menggantung di angkasa, bulat sempurna. Bintang-bintang tak begitu terlihat jelas. Sesekali, gumpalan awan terlihat dibawa angin. Dominan hitam, mungkin pagi nanti akan sangat mendung. Tak ada suara jangkrik yang menenangkan disini, apa lagi suara burung hantu atau binatang malam yang hidup di alam terbuka lainnya.

Daerah ini adalah sebuah perumahan elite dengan kualitas hunian terbaik di seluruh negeri yang terletak di ibu kota. Rumah-rumah besar dan megah berdiri tegak, seolah menjulang, lebih angkuh dari para pencakar langit. Segala keindahan memenuhi rumah-rumah orang-orang kaya itu. Banyak diantara mereka adalah pemilik perusahaan-perusahaan internasional, tak sedikit juga pejabat Negara yang tinggal disitu. Taman-taman di rumah-rumah itu sempurna indah, dengan patung-patung perunggu dan air mancur, serta tanaman-tanaman yang terawat rapi. Di belakang rumah-rumah ada kolam-kolam renang yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan tersier yang sudah menjadi kebutuhan primer bagi mereka. Mobil-mobil berharga milyaran juga memenuhi garasi mereka.

Sungguh, dari luar, hidup mereka terasa sangat indah. Tak ada yang menduga bahwa pada hakekatnya, orang-orang itu gelisah dan rentan melakukan bunuh diri. Pengusaha-pengusaha, serta pejabat-pejabat Negara itu punya cara pandang sendiri akan hidup, yang tak dimiliki orang lain, atau mungkin hanya dimiliki sedikit orang dari kalangan menengah kebawah: sebuah paradigma negatif.
Mereka sulit percaya pada orang lain, bahkan mungkin relasi atau kerabat mereka sendiri. Itu karena ada kepentingan yang harus mereka lindungi, kepentingan pribadi mereka. Dengan cara apa mereka mendapatkan uang, semua orang sudah tahu: kebanyakan dari cara-cara tidak halal.

Orang-orang ini, bagaimanapun dalam hidupnya, akan banyak mengandalkan uang untuk menghapus kegelisahan mereka, walaupun di waktu berikutnya mereka akan lebih gelisah. Bisa saja merencanakan pergi ke Negara lain pada saat ini, dan sudah sampai disana tiga jam berikutnya, lalu kembali lagi ke Negara ini kurang dari dua belas jam. Mudah saja.

#

Sebuah rumah dari kumpulan rumah-rumah besar itu menunjukkan kemegahannya dengan pilar raksasa pada kedua sisinya. Penjaganya adalah petugas-petugas keamanan terlatih yang tidak dibayar murah. Mereka mampu melumpuhkan orang mencurigakan yang mereka rasa akan mengganggu rumah itu. Mereka juga dengan cepat akan mengambil tindakan bila ada sesuatu diluar wajar yang terjadi. Selain itu, sistem keamanan dalam rumah itu juga dilengkapi alarm canggih buatan Negara adi kuasa. Biarpun begitu, tak ada yang bisa mencegah satu makhluk hitam kecil menerobos masuk.

Makhluk kecil itu merayap diantara kaki-kaki petugas-petugas keamanan, memasuki kegelapan setelah dengan cepat berlari menjauhi terangnya pencahayaan beranda rumah. Mata bulatnya memandang segala arah dengan pengelihatannya yang hitam-putih. Indera-inderanya terlatih karena alam dan kerasnya hidup sebagai makhluk yang tidak diharapkan. Ia lapar. Namun lebih dari itu, ia ingin menunjukkan sesuatu kepada dunia dengan rencananya malam ini: sebuah rencana besar yang telah ia susun selama hampir seluruh masa hidupnya dan makhluk-makhluk sejenisnya yang relatif pendek.
Dibantu oleh pengalaman akan kerasnya hidup, makhluk itu berhasil masuk kedalam rumah setelah menggerogoti sebuah bingkai jendela kecil. Sepertinya jendela gudang.

Sekali waktu, ia pernah mencoba masuk lewat pintu utama, walaupun tahu bahwa kualitas kayu yang digunakan untuk membuat pintu itu membuatnya hampir tak mungkin sanggup menggerogotinya. Bahkan, sebelum sampai di depan pintu, sebuah sosok yang lebih besar dari dirinya menghadang. Dengan liur yang terus menetes, sosok besar itu menyalak kepadanya, dan menyerangnya dengan cepat. Makhluk hitam kecil itu segera berlai kencang, namun makhluk yang lebih besar dari dirinya itu lebih dulu menggapai ekornya, lalu memutuskannya.

Dengan ekor berdarah, makhluk kecil itu kabur. Di kejauhan, dia menyadari kalau sosok yang tadi mengejarnya adalah seekor anjing. Petugas-petugas keamanan menenangkan anjing yang terus menyalak tersebut. Dengan nafas terengah-engah, makhluk kecil tersebut menyadari kalau ekornya tinggal separuh. Ia menggerutu dalam hati, menyumpahi anjing itu sambil berpikir, “Hufft, lebih baik aku terlahir sebagai seekor cicak saja.”

Dengan pengalaman pahit itu, ia tak lagi masuk lewat pintu utama. Jendela gudang merupakan jalan terbaik untuk masuk, pikirnya. Setelah berhasil membuat lubang, ia masuk kedalam rumah itu. Sejenak ia berpikir cara menyelinap kedalam ruangan-ruangan utama, mengendap-endap, berusaha tidak ditemukan oleh siapapun dari penghuni rumah. Ia takut seseorang dalam rumah itu akan meneriakinya denga kata yang menjadi jati dirinya: “Tikus!” sebelum rencananya berhasil.

Tapi ia berpikir, pasti sudah tidak ada lagi yang terbangun pada saat ini. Karena itu, sang tikus dengan langkah ringan menggerogoti pintu gudang untuk masuk ke ruangan-ruangan utama didalam rumah itu.

“Aman,” katanya dalam hati.

Ia tahu rumah siapa itu: rumah seorang Tikus. Se-o-rang Tikus. Ia pernah melihat wajahnya di televisi ketika acara berita menayangkan kasus korupsi. Orang ini lolos setelah sebelumnya terbukti menggelapkan uang Negara sebesar 18 milyar. Setidaknya itulah yang selalu didengungkan oleh para demonstran yang berdemo didepan kantor orang-orang seperti dia: “Keluar kau, Tikus! Kembalikan uang rakyat, dasar busuk!”

“Tikus,” batin seekor tikus itu dalam hati. “Kenapa Tikus? Kenapa orang-orang yang memakan uang Negara itu harus ditikuskan? Ada apa dengan diri kami, sehingga manusia-manusia itu menjuluki makhluk-makhuk seperti diri mereka sendiri dengan sebutan Tikus, jenis makhluk yang merupakan pekerja keras dan penantang nasib.”

Sedangkan manusia-manusia yang disebut tikus oleh sesamanya itu merupakan makhluk-makhluk yang dengan santai duduk dibelakang meja, mengkontak sana-sini—sesama manusia Tikus—untuk memperkaya diri. Berlibur ke luar negeri dengan alasan studi banding, dan kejahatan-kejahatan halus lainnya.

Kenapa Tikus? Tikus adalah makhluk yang rela masuk kedalam gorong-gorong hanya untuk mendapat makanan, kabur dari ancaman-ancaman yang selalu menghantui hidup mereka, juga jebakan-jebakan. Sedangkan orang-orang itu, berjalan kaki-pun sungkan, lagipula tak ada yang menghantui hidup mereka. Mereka makmur, disegani dan dihormati, dan tak pernah dijebak seperti tikus. Ahh, kenapa Tikus? Keluhnya dalam hati.

Ia memutar memorinya, ketika ia dan koloninya masih tinggal di sebuah perkampungan yang sempat makmur, hidup dengan nyaman dan penuh makanan sisa yang bisa mereka santap setiap waktu. Ketika perkampungan itu mulai terpuruk oleh sebab yang tak ia ketahui apa, dan makanan kini harus dicari didalam rumah-rumah warga yang juga makan dengan porsi sedikit, ia mencoba berjalan-jalan, menelusuri bantaran sungai, lalu menemukan sebuah balai pertemuan. Disana, kepala desa dengan penuh amarah berbicara kepada para warga, “… kampung kita menjadi tidak makmur, segalanya telah habis dijarah secara perlahan dan halus. Itu semua karena ulah tikus-tikus itu …”

Sang tikus kaget bukan main. Memangnya apa yang telah dilakukan kaumnya pada manusia-manusia itu? Mereka hanya mengambil makanan sisa, dan terkadang sesekali menyelinap ke dapur untuk mengambil satu-dua potong ikan. Apakah separah itu akibat yang mereka timbulkan?

Setelah ia tahu semuanya, bahwa tikus yang mereka maksud adalah manusia-manusia korup pemakan uang rakyat itu, ia merasa memiliki dendam pada mereka.

#

“Sudah kau temukan caranya?” sebuah suara mengagetkan tikus itu: suara tikus lainnya. Warnanya kecokelatan: mantan tikus rumahan yang sekarang hidup di jalanan.
“Oh, bikin kaget saja kau!” katanya, “Dari mana kau masuk?”
“Lubang yang kau buat di jendela gudang.”
“Kau mengikutiku?”
“Hanya untuk memastikan bahwa rencana gilamu benar-benar gila. Sudah kau temukan caranya?”
“Aku memang sudah menemukan cara itu sejak lama. Tikus besar ini harus kita lumpuhkan untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita tak sudi dengan penisbatan nama kita terhadap orang-orang seperti mereka,” jawabnya
“Terserah kau saja kalau begitu, Buntung.”
“Jangan panggil aku begitu!” teriaknya marah.
Tikus cokelat itu tertawa pelan sambil melirik ke ekor lawan bicaranya yang tinggal separuh.
“Cukup! Sekarang lebih baik kau bantu aku!”
“Apa?” Tanya si cokelat.

Sebelum si hitam menjawab, sebuah pintu terbuka. Pintu sebuah kamar tidur.
“Shtt, jangan bersuara!” kata tikus hitam. Dari dalam kamar sesosok anak kecil keluar dan berjalan menuju ruang tamu. Kedua tikus yang berada di ruang tengah itu memperhatikan dengan mata mereka yang bulat. Anak lelaki itu mengambil sebuah stoples kue yang ada di meja ruang tamu. Kedua tikus itu merayap menuju ruang tamu, memperhatikan anak tersebut. Setelah mengambil sebuah kue, anak itu memakannya. Hanya satu gigitan, kemudian ia taruh kue itu beserta stoples yang terbuka diatas meja, lalu kembali tidur. Kedua tikus itu saling pandang,

“Kau lapar?”
“Sudah seharian aku tidak makan,” tak tunggu lama, mereka memakan kue-kue itu. Setelah kenyang, si hitam kembali berkata, “Kita akan menghabisi Tikus besar itu malam ini juga!”
“Setelah kue-kue lezat tersebut?”
“Memangnya kenapa? Nama kita sudah tercemar gara-gara mereka!”
“Lalu, bagaimana melakukannya?
“Begini …”

#

“Kawan-kawan, tahukah kalian? Nama kita telah rusak karena manusia-manusia yang menjadikan sesama mereka sebagai tumbal untuk kekayaan mereka! Mereka membiarkan sesamanya hidup susah, hanya agar mereka senang! Manusia-manusia yang merasa dirugikan oleh sesamanya yang bertindak korup lantas menyebut para koruptor itu dengan nama kita: Tikus!

“Terimakah kalian disamakan dengan perusak macam mereka? Kita mungkin memang merusak, namun kerusakan yang kita timbulkan tak dapat dibandingkan dengan apa yang telah mereka lakukan. Orang-orang ini telah merusak segala aspek kehidupan manusia sekitarnya dibalik layar komputer atau telepon genggam mereka.

“Jangan salahkan manusia-manusia lain yang menamai mereka seperti itu, namun salahkanlah mereka! Karena merekalah nama kita tercemar, padahal kita adalah makhluk dengan kerja keras tinggi yang selalu siap diterpa tantangan hidup!

“Sekarang adalah waktunya pembalasan! Kita harus membayar nama kita dengan mengenyahkan manusia-manusia seperti orang-orang itu, mungkin satu orang saja sudah cukup. Aku tahu siapa yang bias kita basmi. Aku pernah memasuki kediamannya, dan tahu seperti apa orangnya.
“Siapa yang ikut aku?”

Teriaknya pada tikus-tikus yang berada di gorong-gorong ibu kota. Tikus-tikus besar itu tampak terpengaruh dengan apa yang ia ucapkan barusan, sehingga sebagian besar dari mereka memajukan moncongnya tanda setuju. “Kami ikut! Manusia-manusia itu sudah kelewatan!”

Si cokelat yang dari tadi bersama tikus hitam juga nampaknya mulai berkoar. Semuanya bersemangat mengenyahkan manusia-manusia yang telah memperburuk nama mereka. Mereka tak sudi disandingkan dengan makhluk kotor seperti para kouptor itu.

Akhirnya, segerombolan besar tikus menyeruak dari pinggiran-pinggiran trotoar, dari lubang-lubang saluran air yang tembus ke gorong-gorong. “Basmi mereka!”

Tikus-tikus itu berlarian kesana kemari, kemudian membentuk sebuah kerumunan besar tikus yang bergerak menuju satu arah: perumahan elite ibu kota yang menjadi kediaman koruptor itu.

Setiap kali mereka melewati tempat-tempat lembab dan gelap, mereka selalu meneriaki tikus-tikus yang menghuni tempat-tempat itu untuk bergabung dan membentuk kekuatan yang lebih besar lagi. Akhirnya, jumlah mereka menjadi ribuan.

Ditengah perjalanan, tak jarang terpampang spanduk-spanduk yang mengutuk para koruptor itu. Gambar tikus selalu saja ada di spanduk-spanduk itu. Slogan-slogan seperti “Basmi tikus berdasi!” atau “Jangan biarkan koruptor itu memakan uang rakyat!” terpampang didalamnya.

“Bila manusia tidak mampu membasmi para koruptor itu, biarlah kami yang membasminya!”

Setelah menempuh perjalanan, tikus-tikus itu akhirnya sampai di depan gerbang perumahan itu. Penjaga gerbang tentu saja panik dan bingung. Sebagian dari mereka kabur, ada lagi yang berusaha membasmi hewan-hewan itu dengan pukulan tongkat. Sebagian lagi mengambil apa saja yang dapat digapai untuk melempari gerombolan pengerat tersebut.

Tikus-tikus yang diserang itu marah dan menyerang para penjaga karena tak sedikit dari golongan mereka yang mati karena terkena pukulan. Namun sang tikus berekor buntung berteriak,”Jangan pedulikan mereka! Kita tak boleh menyerang apapun selain target kita malam ini!” akhirnya mereka berhasil menembus gerbang, kemudian kembali berlari menuju rumah yang dituju.

“Itu rumahnya!” mereka kembali menemukan penjagaan didepan rumah itu. Penjaga yang panik melakukan segala yang mereka bisa; menembak, memukul, menelepon polisi, dan sebagainya. Lebih banyak tikus yang mati namun gerombolan tikus seperti tidak berkurang.

Akhirnya mereka berhasil menggerogoti pintu utama dan masuk. Gerombolan itu berpencar ke segala arah, mengacak-acak seluruh isi rumah menghancurkan apa yang mereka temui. Si tikus buntung dan tikus cokelat serta puluhan tikus lain masuk kedalam kamar tidur Tikus Raksasa: sang koruptor.

#

Pagi hari, wartawan-wartawan dari berbgai stasiun TV dan media cetak serta elektronik berdatangan ke rumah sang koruptor. Sang koruptor sendiri kini sedang dirawat di rumah sakit. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka cakaran dan gigitan hewan pengerat. Para saksi dimintai keterangan di tempat. Para penjaga itu mengutarakan apa yang terjadi pada mereka semalam dengan penuh kebingungan dan rasa tak percaya. “Tikus-tikus itu, kau lihat sendiri bangkai-bangkai mereka di luar sana, kan?” kata seorang dari mereka sambil menunjuk kearah taman. “Mereka ribuan, datang kemari hanya untuk mengacak acak rumah dan menyerang majikan kami! Sungguh kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga menyebabkan hewan-hewan itu melakukan hal tersebut.”

Setelah memeriksa lebih jauh, polisi menemukan bahwa ranjang sang koruptor mendapati banyak cakaran. Tersembunyi memang, namun beberapa gurat diatas kasur masih dapat dibaca, “Kami bukan koruptor, dan mereka bukan kami! Kami adalah hewan-hewan liar yang hidup dari mengumpulkan benda-benda sisa. Jangan samakan mereka dengan kami!”

Televisi di seluruh negeri akhirnya menayangkan berita yang sama di setiap waktu pada bulan itu.
Sepertinya tak ada lagi sebutan tikus untuk para koruptor di waktu yang akan datang.

26 Februari 2010

satu kata saja dari saya pribadi sebagai komentar buat cerpen ini, "Awesome ! "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar